ACEH PUNGO (ACEH GILA)
(by :ampon zaki)
ACEH PUNGO (ACEH GILA)
DEFENISI ACEH PUNGO
Aceh Pungo (Bahasa Indonesia : Aceh Gila) dikenal dalam bahasa Belanda dengan nama Aceh Moorden. Kata “Pungo” adalah sebuah kata purba yang seusia dengan bahasa Aceh yang berarti “gila” atau “crazy” merupakan istilah yang digunakan ketika seseorang melakukan hal-hal di luar batas kewajaran diluar akal sehat.
Secara morfologi arti dari Aceh Pungo adalah suatu pembunuhan khas Aceh yang orang Aceh sendiri menyebutnya poh kaphe (bunuh kafir). Di sini para pejuang Aceh tidak lagi melakukan peperangan secara bersama-sama atau berkelompok, tetapi secara perseorangan. Dengan nekad seseorang melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda apakah ia serdadu, orang dewasa, perempuan atau anak-anak sekalipun menjadi sasaran untuk dibunuh. Dan tindakan pembunuhan nekad ini dilakukan di mana saja di jalan, di pasar, di taman-taman atau pun pada tangsi-tangsi sendiri.
Sebutan ini dipopulerkan oleh seorang peneliti Belanda yang bernama R.A Kern, adapun asal muasal frase ini dapat kita telusuri dari catatan sejarah berikut:
LATAR BELAKANG PERANG ACEH
Perang Belanda di Aceh yang meletus sejak tahun 1873 hingga awal abad XX belum berakhir. Berbagai upaya dilakukan untuk dapat mengakhiri perang yang telah banyak memakan korban, baik di pihak Aceh maupun di pihak Belanda sendiri. Menjelang akhir abad XIX dan pada awal abad XX, Belanda melaksanakan suatu tindakan kekerasan melalui sebuah pasukan elit yang mereka namakan het korps marechaussee (pasukan marsose).
Pasukan ini dari serdadu-serdadu pilihan yang memiliki keberanian dan semangat tempur yang tinggi, dengan tugas untuk melacak dan mengejar para pejuang Aceh melawan Belanda ke segenap pelosok daerah Aceh. Mereka akan membunuh para pejuang Aceh yang berhasil ditemukan atau setidaknya membuang ke luar daerah Aceh.
Dengan cara kekerasan ini Belanda mengharapkan rakyat atau para pejuang akan takut dan menghentikan perlawanan Belanda. Namun apa yang terjadi? Akibat tindakan kekerasan tersebut telah menimbulkan rasa benci dan dendam yang sangat mendalam bagi para pejuang Aceh yang bersisa, lebih-lebih bagi keluarga mereka tinggalkan, ayah, anak, menantu, sanak keluarga atau kaumnya yang telah menjadi korban keganasan pihak Belanda. Menurut perkiraan yang moderat total korban Perang Aceh-Belanda telah menghilangkan seperempat populasi rakyat Aceh saat itu.
ACEH PUNGO SEBAGAI REAKSI FRUSTASI RAKYAT ACEH TERHADAP KEKEJAMAN BELANDA
Untuk membalas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Belanda tersebut para pejuang Aceh melakukan suatu cara yang kemudian diistilahkan oleh Belanda dengan nama Atjeh Moorden atau het is een typische Atjeh Moordsuatu pembunuhan khas Aceh yang orang Aceh sendiri menyebutnya poh kaphe (bunuh kafir). Di sini para pejuang Aceh tidak lagi melakukan peperangan secara bersama-sama atau berkelompok, tetapi secara perseorangan. Dengan nekad seseorang melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda apakah ia serdadu, orang dewasa, perempuan atau anak-anak sekalipun menjadi sasaran untuk dibunuh. Dan tindakan pembunuhan nekad ini dilakukan di mana saja di jalan, di pasar, di taman-taman atau pun pada tangsi-tangsi sendiri.
Pembunuhan khas Aceh ini antara tahun 1910 – 1920 telah terjadi sebanyak 79 kali dengan korban di pihak Belanda 12 orang mati dan 87 luka-luka, sedang di pihak Aceh 49 tewas. Puncak dari pembunuhan ini terjadi dalam tahun 1913, 1917, dan 1928 yaitu sampai 10 setiap tahunnya. Sedangkan di tahun 1933 dan 1937 masing-masing 6 dan 5 kali. Adapun jumlah korban dalam perang Belanda di Aceh selama sepuluh tahun pada awal abad XX (1899-1909) sebagaimana disebutkan Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog tidak kurang dari 21.865 jiwa rakyat Aceh. Dengan kata lain, angka itu hampir 4 persen dari jumlah penduduk pada waktu itu. Angka ini setelah 5 tahun kemudian (1914) naik menjadi 23.198 jiwa dan diperhitungkan seluruh korban jiwa (dari pihak Aceh dan Belanda) dalam kurun waktu tersebut hampir sama dengan yang telah jatuh pada masa perang 1873 – 1899.
Hal ini belum lagi korban yang jatuh setelah tahun 1914 hingga tahun 1942. Sementara pada akhir bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaradja (sekarang Banda Aceh) juga menjadi korban pembunuhan khas Aceh ini.
Pembunuhan khas Aceh adalah sikap spontanitas rakyat yang tertekan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan pasukan Marsose Belanda. Sikap ini juga dijiwai oleh semangat ajaran perang Sabil untuk poh kaphe (membunuh kafir). Di samping itu juga adanya suatu keinginan untuk mendapatkan mati syahid. Dan untuk membalas dendam yang dalam istilah Aceh disebut tueng bila, sebuah istilah yang menggambarkan betapa membara semangat yang dimiliki oleh rakyat Aceh.
Akibat adanya pembunuhan nekad yang dilakukan rakyat Aceh tersebut menyebabkan para pejabat Belanda yang akan ditugaskan ke Aceh berpikir berkali-kali. Dan ada di antara mereka yang tidak mau mengikutsertakan keluarganya (anak-istri) bila bertugas ke Aceh. Malahan ada yang memulangkannya ke negeri Belanda. Para pejabat Belanda di Aceh selalu membayangkan dan memikirkan bahaya Atjeh Moorden tersebut.
KAJIAN BELANDA TENTANG ACEH PUNGO
Mereka tidak habis pikir, bagaimana hanya dengan seorang saja dan bersenjata rencong yang diselipkan dalam selimut atau bajunya para pejuang Aceh berani melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda, bahkan pada tangsi-tangsi Belanda sekalipun. Oleh karena itu, ada di antara orang Belanda yang menyatakan perbuatan itu “gila” yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang waras, maka timbullah istilah di kalangan orang Belanda yang menyebutnya Gekke Atjehsche (orang Aceh gila), yang kemudian populer dengan sebutan Aceh pungo (Aceh Gila).
Untuk mengkajinya pihak Belanda mengadakan suatu penelitian psikologis terhadap orang-orang Aceh. Dalam penelitian itu terlibat Dr. R.H. Kern, penasihat pemerintah untuk urusan kebumiputeraan dan Arab, Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perbuatan tersebut (Atjeh Moorden) termasuk gejala-gejala sakit jiwa. Suatu kesimpulan yang mungkin mengandung kebenaran, tetapi juga mungkin terdapat kekeliruan, mengingat ada gejala-gejala yang tidak terjangkau oleh dasar-dasar pemikiran ilmiah dalam Atjeh Moorden tersebut. Menurut R.H. Kern apa yang dilakukan rakyat Aceh itu adalah perasaan tidak puas akibat mereka telah ditindas oleh orang Belanda karena itu jiwanya akan tetap melawan Belanda.
PARA KORBAN ACEH PUNGO YANG TERKENAL
Letnan kolonel (overste) SCHEEPENS, adalah seorang peneliti terkenal tentang Aceh, begitu pula SCHMIDT yang juga tewas di Sigli pada tahun 1913. Pada tugu tersebut kita akan terkenang betapa konyol Kematian overste Scheepens, padahal ia sebelumnja pernah mendapat luka-luka yang agak lumayan berat dalam berbagai pertempuran dihutan belukar Aceh, dan dia selamat. Adapun luka yang menyebabkan kematiannya akibat tikaman rencong dengan tiba-tiba, dan tidak pernah disangka ketika dia sedang mengetuai satu sidang pengadilan kecil di Sigli. Orang menikamnya adalah Uleebalang Titeu yang mati seketika itu juga dicincang oleh agen-agen polisi yang bertugas sekitar kantor dimana sidang itu bertempat.
Sebelum kejadian itu sebenarnya Aceh telah dikenal oleh Belanda sebagai salah satu daerah yang aneh yang dinamakan “Gekke Atjehsche” atau lebih dikenal sebagai “Atjeh Moorden” (Aceh Pungo; Aceh atau Aceh Gila; Indonesia) Aceh Pungo adalah tindakan nekat seseorang melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda tak peduli apakah ia serdadu, dewasa, perempuan bahkan anak-anak sekalipun. Tindakan ini dilakukan dimana saja, di jalan-jalan, di tangsi-tangsi, atau di taman-taman. Ini terjadi akibat kekerasan Belanda dalam perang Aceh sehingga menimbulkan benci dan dendam yang mendalam bagi keluarga pejuang Aceh yang tersisa, lebih-lebih karena anak, menantu, sanak keluarga atau kaumnya yang telah menjadi keganasan pihak Belanda.
Korbannya tak mesti orang Belanda, terkadang juga bangsa kulit putih lain yang disangka sebagai orang Belanda. Korban Aceh Pungo di Sigli antara lain seorang turis wanita dari Amerika Serikat yang bernama Mrs. Mary Ware yang pernah dijanjikan Scheepens untuk diberikan layanan sebaik-baiknya karena ia sedang mencari bahan untuk menulis buku “FOREIGN COUNTRY THROUGH FOREIGN EYES”.
Kapitein CHARLES EMILE SCHMID, komandan Divisi 5 Korp Marsose di Lhoksukon pada tanggal 10 Juli 1933 mati konyol dengan tiba-tiba diluar dugaan pada suatu pagi cerah dilapangan tempat latihan militer di Lhoksukon. Schmid sedang melihat sekumpulan kecil serdadu berlatih dipagi hari itu. Ia meninggalkan lapangan tersebut untuk pulang tetapi tiba-tiba dilihatnya seorang Aceh melewatinya sambil memberi “tabek” sebuah salam sebagaimana kebiasaan orang Aceh menghormati Belanda. Tabek orang tersebut dibalas oleh kapitein itu tetapi diluar dugaannya, begitu tangan orang yang menghormatinya itu turun, begitu rencong berlabuh pada tubuhnya dan menyebabkan luka yang mematikan. Schmid terhoyong tetapi langsung dibantu oleh beberapa orang serdadu dan ia digotong ke rumah sakit, namun ia tak dapat ditolong lagi. Schmid kini menjadi salah seorang penghuni Peucut.
Menurut sumber Belanda, orang yang menikam Schmid di Lhoksukon itu dinyatakan sebagai “orang yang telah jemu untuk hidup” dan mencari syahid, namanya Amat Leupon. Ia mati dicincang oleh serdadu Asa Baoek yang “atas jasa dan keberaniannya” mendapat bintang salib perunggu.
LANGKAH PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA MENCEGAH “ACEH PUNGO”
Dengan kesimpulan bahwa banyak orang sakit jiwa di Aceh, maka pemerintah Belanda kemudian mendirikan rumah sakit jiwa di Sabang. Dr. Latumenten yang menjadi kepala Rumah Sakit Jiwa di Sabang kemudian juga melakukan studi terhadap pelaku-pelaku pembunuhan khas Aceh yang oleh pemerintah Belanda mereka itu diduga telah dihinggapi penyakit syaraf atau gila. Namun hasil penelitian Dr. Latumenten tersebut menunjukkan bahwa semua pelaku itu adalah orang-orang normal. Dan yang mendorong mereka melakukan perbuatan nekad tersebut adalah karena sifat dendam kepada Belanda yang dimiliki yaitu tueng bila (Balas dendam). Untuk itu, seharusnya segala tindakan kekerasan jangan lagi dilakukan terhadap rakyat Aceh.
Selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijaksanaan baru yang dikenal dengan politik pasifikasi lanjutan gagasan yang dicetuskan oleh C. Snouck Hurgronje. Sesuatu politik yang menunjukkan sifat damai di mana Belanda memperlihatkan sikap lunak kepada rakyat Aceh, mereka tidak lagi bertindak hanya dengan mengandalkan kekerasan, tetapi dengan usaha-usaha lain yang dapat menimbulkan simpati rakyat.